okay. let’s talk about something.

 

do people change?

A. yes, they do.

B. no, they don’t.

 

sabtu lalu, aku menyempatkan diri untuk mampir ke responsi praktikum Biokimia, yang mana semestinya aku tidak usah datang karena toh aku sudah ambil masa pensiun sebagai asisten praktikum Biokimia :’D

tapi toh akhirnya aku datang, hanya untuk melihat kondisi dan simply to say hi to those dearest fellow assistants 🙂

siapa sih yang nggak suka kumpul-kumpul walau cuma untuk haha-hihi? 😀

 

selagi ‘menjaga’ responsi, seorang adek kelas, sebut saja Inten (ini nama asli, hahaha) bertanya dengan suara pelan – antara agar tidak ada yang mendengarkan pembicaraan kami dan agar tidak mengganggu konsentrasi peserta responsi.

“mbak aga. gimana caranya, sih, bisa stay happy kayak mbak?”

 

aku ketawa.

“lho, memangnya aku kelihatan happy banget, ya?”

well. aku bersyukur dan bahagia atas kehidupan yang aku jalani, tapi apakah aku sebahagia seperti apa yang Inten, seperti apa yang orang-orang lihat?

 

Inten menjawab.

“yaa paling gak, dibanding sama mbak-mbak, mas-mas yang udah koas, mbak aga kayak nggak kelihatan stres gimana, gitu”

*kata-katanya tidak persis sama, tapi kalau gak salah, Inten mengatakan yang intinya seperti itu hahaha 😛

 

aku tertegun. diam.

“gitu, po?”

 

Inten melanjutkan.

“hehe iya mbak. aku sekarang agak segan gitu mbak kalau mau nyapa yang aku kenal dari angkatannya mbak yang udah koas. bebannya koas segede itu yaa, mbak? aku jadi kayak nunggu, kalau pas aku disapa, aku sapa balik. tapi aku agak takut kalau mau nyapa duluan, habis kadang kayak nggak dianggep gitu, hehehe.”

 

that doesn’t sound right.

 

Inten menambahkan sedikit.

“makanya, aku bertanya-tanya, gimana mbak bisa, paling nggak, kelihatan happy di mata orang lain.”

 

kemudian aku menyeret Inten, menjauhi khalayak, duduk agak pojok tapi sambil mengawasi responsi.

“ayo sini duduk dulu, hahaha.”

aku diam sejenak, berusaha mengatur kata-kata.

 

aku mengawali dengan…

“kamu tau, nggak, aku pernah terpikir untuk suicide?”

 

aku nyengir. Inten melongo.

“sumpah, mbak? kenapa, mbak emangnya??”

 

masih nyengir.

“iya, beneran. belum lama ini, kok. yaa, banyak hal, lah. ini dan itu. jadi, sebenernya… aku nggak se-happy itu, hehehe.”

 

kemudian aku menceritakan juga respon beberapa orang ketika aku mengatakan ‘aku pengen suicide’. dari yang panik sampai hampir tidak ada tanggapan sama sekali.

aku sadar, suicide bukanlah suatu hal yang sangat disoroti di Indonesia. sehingga, ketika ada seseorang yang berkata ‘aku pengen suicide’, kata-kata ini tidak ditanggapi dengan sangat serius. padahal, menurutku, kita semua harus sedikit lebih peka terhadap masalah suicide ini.

suicide nggak main-main, bray.

aku tahu, temanku itu tadi tidak bermaksud untuk mengacuhkanku atau gimana. dia mungkin juga sudah tahu bahwa aku tidak benar-benar serius untuk suicide.

tapi, sedikit saran. ketika ada seseoran yang mengeluh pada kalian, ‘aku pengen suicide’…

ada baiknya kita lebih memperhatikan keluhan itu. karena tidak semua ‘aku pengen suicide’ kemudian batal untuk suicide.

karena dalam ‘aku pengen suicide’, sudah terselip sedikit niat untuk benar-benar suicide.

 

hal lain yang aku soroti dari intro dengan Inten adalah pertanyaan yang aku tulis di awal post.

do people change?

 

apakah sifatku saat kuliah dan saat koas berbeda?

apakah suatu saat nanti sifatku akan berubah lagi?

bagaimana bisa sifat orang berubah?

 

kalau kata dokter House, siiiih.

no, people don’t change.

 

dan menurutku, people do not change.

orang memang tidak berubah.

tapi sifat kita bisa bertambah.

dan ini semua tergantung 2 hal: lingkungan dan mindset.

 

good environment makes good mindset.

 

dulu, jaman skripsi, aku berada di lingkungan yang tidak terlalu baik. mindset yang ada di kepalaku saat itu?

 

there’s no use being good.

gak ada gunanya jadi orang baik.

 

corrupt banget, kan, mindsetnya? jelek banget deh itu.

 

alhamdulillah. sedikit demi sedikit mindsetku sudah tidak se-corrupt itu. karena aku sudah terlepas dari lingkungan yang tidak terlalu baik itu, dan lingkunganku saat ini lebih baik dari sebelumnya.

at least, aku bisa memilih untuk ada di lingkungan yang menurutku lebih baik.

karena ketika menjalani masa koas, apalagi di kedokteran gigi, kita dihadapkan oleh berbagai situasi dan berbagai lingkungan, dari yang baik hingga buruk.

terserah bagaimana kita memilih.

and i chose being good.

 

karena dengan berbuat baik, pada dasarnya kita nggak butuh apa-apa selain niat berbuat baik.

kalau ingin bahagia, ya bahagia aja.

 

agak bullshit sih ya, omongannya, karena toh itu keluar dari seseorang yang pernah kepikiran buat suicide, yang berarti orang itu nggak bahagia. hahaha

 

but, yeah. i realize now that if you want to be good, all you have to do is be good.

 

tidak bisa dipungkiri, sebagian dari yang kita obrolkan, sedikit banyak adalah mengenai orang lain. sebagian dari itu berupa gosip. hahaha

masalahnya, gosip itu seringnya tidak semuanya benar. ada yang ditambahi, ada yang dikurangi.

dan semestinya, kita tidak menggosip. se mes ti nya. *nyengir*

 

aku sedang berusaha buat nggak bergosip, nih. bismillah, yaa *nyengir lagi*

 

kembali ke being good.

kalau ingin baik, yaudah, baik aja.

jangan menilai seseorang hanya dari tampilan luar tanpa benar-benar mengenal orang itu.

misal: tolonglah jangan buru-buru mengatai seseorang hanya karena dia tidak membalas tersenyum ketika kita memberi senyum.

ingatlah jasa dari orang-orang yang pernah, sudah, atau akan memberi kita pertolongan. jangan seenaknya melupakan hal-hal kecil seperti itu hanya karena kita sudah tidak membutuhkannya.

misal: bapak-bapak yang menjaga ruangan klinik yang selalu bersedia dimintai tolong, hanya karena satu hal lalu dicap ngeselin dan sebagainya. please, dia sudah banyak membantu.

berbuat baiklah karena ingin.

misal: muncul omongan, ‘aku udah males pura-pura baik sama dia, dia jutek banget’. lah, baiknya aja pura-pura, ya udah sih kalau dibales jutek.

 

entah apakah benar teman-teman di koas jadi berbeda seperti yang dikeluhkan Inten sehingga dia segan mau menyapa. tapi ada baiknya jika kita bisa mengatur mindset kita untuk bahagia. dan berbuat baik.

 

mudah kok untuk bahagia. untuk berbuat baik.

^ inilah yang perlu ditanamkan. semacam inception yak 😀

 

yehet!

 

yes banget deh.

 

oh, yeah.

the four-letter-word as title?

 

it’s LIFE.

 

being happy and good is how we suppose to live this LIFE.

 

good night 🙂

 

-aga-